Untuk Ananda tercinta Fauzan Ali

Sebuah blog untuk mencapai pencerahan jiwa berdasarkan pengalaman dan pemikiran pribadi untuk anak tercinta Fauzan Ali.


Setelah fali memahami apa artinya hidup ini dan tafakur sebagai jalan masuknya hikmah, maka yang perlu fali ketahui selanjutnya adalah Untuk apa Fali dilahirkan di dunia ini.

KEBERADAAN MANUSIA MELALUI SUATU PROSES

Allah selalu menciptakan sesuatu secara bertahap, yaitu dengan melalui suatu proses yang berkesinambungan. Manusia misalnya, ia diciptakan tidak langsung dewasa. Tetapi melalu proses yang bermulai dari bentuk air, lalu menjadi janin, kemudian menjadi bayi, lalu menjadi anak-anak, dan akhirnya menjadi dewasa. Demikian juga dengan tanaman. Dimulai dari biji, kemudian timbul tunas, batang, daun dan seterusnya, sampai akhirnya berbunga atau berbuah.

Yang perlu fali sadari dari fenomena ini ialah, baik atau buruknya kualitas manusia atau pun tumbuhan setelah dewasa nanti, sangat ditentukan oleh proses pemeliharaan atau bekal yang diterimanya dari sejak dini. Kualitas manusia di dunia, ditentukan sejak mulai berada dalam perut ibunya. Si calon ibu ini memakan makanan yang bergizi agar kelak bayinya sehat. Kemudian bayi tersebut diberinya makanan yang baik, serta dilindungi keamanannya supaya menjadi anak yang sehat. Selanjutnya, anak ini dilengkapi dengan gizi dan bekal pendidikan yang cukup, disekolahkan yang tinggi, sehingga pada akhirnya ia menjadi orang

Tumbuhan pun demikian. Pemeliharaannya dari sejak kecil di beri pupuk, disiram, disiangi, dilindungi dengan anti hama akan menentukan kualitasnya pada saat ia berbunga atau berbuah nanti.

Demikian pulalah kiranya Allah menjadikan eksistensi manusia di akhirat.

Kualitas manusia di akhirat nanti, akan ditentukan setelah ia melalui proses ujian demi ujian terhadap ketaatannya pada Allah selama hidupnya di dunia. Jadi jelaslah, kualitas fali di akhirat nanti, tergantung pada keberhasilan fali sendiri dalam mengatasi ujian – ujian yang dihadapi, apakah fali mampu selalu taat mengikuti perintah-perintahNya, atau membangkang sebagaimana yang dilakukan iblis ketika diperintahkan sujud kepada Adam.

Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya,
Niscaya Allah memasukannya ke dalam surga.
Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya
Dan melanggar ketentuan-ketentuanNya, niscaya
Allah memasukannya kedalam api neraka sedang ia
Kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan
An-Nisaa’ (4):13,14


TUJUAN HIDUP

Setelah fali memahami apa yang akhirnya akan dituju oleh setiap manusia, serta ‘Kualitas’ berasal dari suatu proses, maka yang perlu fali ketahui selanjutnya adalah, apa sebenarnya tujuan hidup manusia di dunia. Kesadaran ini sangat penting. Karena seseorang yang tidak mengetahui untuk apa tujuan hidupnya, maka pastilah ia tidak mengerti siapa dirinya itu, dan dari mana ia berasal. Akibatnya, ia akan melangkah ke arah yang keliru.

Selanjutnya, dengan memperhatikan firman-firman Allah yang telah dikutip sebelumnya, jelaslah bahwa tujuan hidup manusia di dunia, pada hakikatnya adalah untuk mencari/mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya bagi kehidupan akhirat. Tingkat manusia di akhirat nanti, akan ditentukan oleh sedikit banyaknya bekal yang dibawa dari dunia. Semakin banyak bekalnya, maka akan semakin tinggi pula tingkat kemuliaannya. Apakah yang dimaksud dengan bekal itu ? Jika untuk mencapai kedudukan tinggi di masyarakat kita harus berbekal pendidikan yang cukup, maka untuk mencapai kedudukan tinggi di akhirat nanti, yang kita perlukan adalah pahala.

Dengan demikian dapatlah dikatakan, kehidupan di alam dunia ini adalah arena untuk mengumpulkan pahala bagi kehidupan akhirat. Semakin banyak pahala yang berhasil kita raih, maka semakin tinggi pula tingkat kita kelak.

Abdullah bin Abbas berkata :

“Sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan dunia terdiri atas tiga bagian; sebagian bagi mukminin, sebagian bagi orang munafik, sebagian bagi orang kafir. Maka orang mukmin menyiapkan perbekalan, orang munafik menjadikannya perhiasan, dan orang kafir menjadikannya tempat bersenang-senang.”

TEMPAT MENCARI PAHALA

Pahala adalah hadiah yang diberikan Allah kepada manusia apabila ia lulus dari ujian yang dihadapinya. Ujian-ujian ini pada dasarnya terletak pada dua jalur, yaitu jalur hablum-minallah dan jalur hablum-minannas. Pada kedua jalur ini, Allah dan Rasul-Nya telah menentukan “aturan main” bagaimana manusia harus bersikap. Misalnya saja, dalam jalur hablum-minnallah manusia diwajibkan shalat; dan dalam jalur hablum-minannas manusia diwajibkan berbuat baik terhadap sesamanya. Semua “Aturan Main” ini tertuang lengkap dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah saw.

Allah melengkapi manusia dengan mata, telinga, dan hati bukan tanpa tujuan. “Perlengkapan” ini merupakan sarana bagi Allah untuk menguji manusia, apakah dalam setiap situasi dan kondisi – baik atau pun buruk – ia mampu tetap taat mengikuti “aturan main” yang sudah ditetapkan-Nya atau tidak.

Simaklah baik-baik surat Al-Insaan:2,3 berikut :

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.
Al-Insaan (76):2,3


Supir ugal-ugalan dijalan raya, atasan yang menjengkelkan, kolega yang picik, ataupun teman yang menyebalkan, ini semua terjadi karena Allah melengkapi kita dengan mata, telinga dan hati. Oleh karena itu, orang-orang negatif ini harus dipandang sebagai ujian Allah pada jalur hablum-minannas. Apabila orang-orang ini dapat kita hadapi sesuai dengan tuntunan yang diberikan-Nya melalu Rasul-Nya, maka berarti kita lulus. Sebaliknya, bila mereka kita hadapi dengan emosi atau nafsu, maka berarti kita gagal. Hendaklah kita senantiasa mengingat pengalaman para bijak, “Kepuasan sejati bukanlah menuruti hawa nafsu, tetapi kepuasan sejati adalah keberhasilan menahan diri untuk tidak mengikuti hawa nafsu.”

Dengan demikian, dapatlah dimengerti, bahwa semua masalah, baik itu masalah hubungan dengan Allah (seperti misalnya rasa malas mendirikan shalat), maupun masalah hubungan dengan manusia (seperti misalnya menghadapi orang yang menjengkelkan), pada hakikatnya adalah hendak menguji, mampu atau tidak kita bersikap sesuai dengan kehendak Allah dan Rasulullah saw. Bila kita dapat bertindak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Al-Qur’an dan hadits dengan niat “ lillahi ta’ala”, maka berarti kita lulus. Sebaliknya, bila masalah itu kita hadapi dengan nafsu, berarti kita gagal. Begitulah medan perjalanan yang harus ditempuh manusia dalam menuju surga. Dalam perjalanan itu pasti akan ditemui halangan dan rintangan yang kesemuanya itu merupakan ujian apakah kita mampu mengatasinya atau tidak.

Barang siapa yang mengerjakan amal-amal
Saleh baik ia laki-laki maupun perempuan sedangkan ia
orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke
Dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun.
An-Nisaa’(4):124


Dan surga itu diberikan kepada kamu
Berdasarkan amal yang telah kamu kerjakan.
Az-Zuhruf(43):72


Dengan memahami hal tersebut diatas, akan dapat mencegah fali tertipu dan terlena mengikuti emosi atau pikiran negatif, sehingga tidak akan menyimpang dari aturan main yang ditetapkan-Nya. Dan, insya Allah, Fali tidak akan mengalami stress ataupun menjadi pendendam.

Akhirnya, pada diri anandaku Fauzan Ali, tanyakanlah pada diri sendiri ….

SIAPAKAH AKU?

Darimana asalku, dan hendak kemana Aku menuju? Untuk apakah Aku diciptakan-Nya? Apa cita-citaku? Siapa Musuhku? Apa senjataku? Siapakah istriku / suamiku? Siapakah anakku? Apakah kompas hidupku? Siapakah tokoh idolaku? Berapa lama jatah yang diberikan-Nya padaku untuk tinggal di dunia? Kemanakah Aku akan pergi setelah itu? Bagaimana keadaanku nanti disana? Makin susah ataukah makin senang?

Bila Fali bisa menjawab semuanya itu, berarti fali sudah mulai mengerti dan memahami apa yang abi maksud.

Jakarta, 19 september 2008 at 22.00 WIB

Semua manusia, tanpa terkecuali, pasti akan mati. Bila demikian, lalu apa sebenarnya yang akan dituju oleh manusia di alam dunia ini. Apakah manusia hidup semata-mata hanya untuk bekerja, berumah tangga, bersenang-senang dengan harta yang dimilikinya, ataupun berkeluh kesah dalam kemiskinan, kemudian ia lalu mati tidak berdaya?Apakah setelah mati itu ia akan hilang menguap seperti halnya api obor yang padam? Atau, apakah manusia yang dilahirkan dalam “ketiadaan” itu akan mati dalam “ketiadaan” pula ? Bila ya, apakah berarti hidup manusia di dunia ini sia-sia belaka? Tentu tidaklah demikian. Allah telah berfirman, bahwa manusia akan terus ada dan tidak akan pernah menghilang atau menguap. Manusia akan menjalani kehidupan abadi di akhirat.

Dengan demikian, jelaslah bahwa sesungguhnya yang dituju oleh semua manusia adalah akhirat ! Cepat atau lambat, suka atau tidak suka, semua manusia pasti akan menuju kesana.

Apakah kalian mengira bahwa kami
Menciptakan kalian sia-sia, dan bahwa
Sesungguhnya kalian tidak akan di-
Kembalikan kepada Kami ?
Al-Mu’minun (23):115


Apakah manusia mengira,
Bahwa ia akan dibiarkan begitu saja
(tanpa pertanggung jawaban) ?
Al-Qiyamah(75):36

Sesungguhnya hari kiamat akan
Datang (dan) Aku merahasiakan (waktunya)
Agar tiap-tiap diri dibalas dengan apa
Yang diusahakannya.
Thaahaa (20):15


Allah berencana membuat surga dan neraka, yang akan ditempati antara lain oleh manusia. Untuk menentukan siapa yang akan menjadi penghuni surga dan siapa yang menempati neraka, maka Allah membuat ‘Aturan Main’ yang harus di taati, yaitu sebagimana yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Hadits. Manusia yang patuh melaksanakan ‘Aturan Main’ ini, dijanjikan-Nya menjadi penghuni surga. Sebaliknya, manusia yang selalu melanggar ‘Aturan Main’ ini akan di campakan-Nya kedalam neraka. Dengan demikian, hidup manusia di dunia sebenarnya adalah “babak prakualifikasi” untuk menentukan tempat tinggalnya nanti di akherat. Dan disana, karena kita semua telah diberi-Nya kesempatan dan peluang yang sama pada waktu hidup didunia, di manapun kita ditempatkan-Nya, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Masing-masing orang akan menghisab dirinya sendiri, dengan membaca kitab amal perbuatannya selagi hidup di dunia, yang akan digantungkan di lehernya masing-masing [ Al-Israa’ (17):13-14 ]


Keterangan singkat yang diuraikan diatas, sekilas tampaknya sederhana, namun bila Fali renungkan baik-baik, makna yang tersirat sangatlah dalam. Pahamilah hal ini dengan baik, karena inilah fundamen yang paling mendasar untuk dapat menemukan / mengerti kebenaran hidup yang hakiki.

Untuk mematuhi ‘Aturan Main’ yang ditentukan-Nya, maka fali harus selalu ingat Allah. Allah tak akan pernah berhenti menguji keuletan manusia dalam mematuhi aturan main yang ditentukan-Nya. Oleh karena itu fali harus mengetahui dimana letaknya ujian itum dab bagaimana caranya agar dapat lulus dari ujian Allah itu.



Bertafakurlah Sebagai jalan masuknya hikmah

Adalah akan jauh lebih baik, bila fali menemukan kebenaran dari hasil perenungan sendiri daripada menerima suatu kebenaran dari orang lain ( pepatah barat mengatakan : “ I hear I forget, I see I Know, I do I Understand” )

Menerima kebenaran dan menemukan kebenaran adalah sesuatu yang berbeda. Menerima kebenaran cukuplah dengan bertaqlid atau ‘Mengikut’ , sedangkan menemukan kebenaran hanya akan di peroleh melalui perenungan demu perenungan yang mendalam.

Sudah menjadi sunatulah bahwa kebenaran yang ditemukan sendiri, ibarat mata air yang tidak pernah kering; sedangkan kebenaran yang kita terima dari manusia, ibarat hujan di musim kemarau. Tentu saja yang dimaksud kebenaran disini bukanlah kebenaran dalam konteks seperti dua tambah dua sama dengan empat, tetapi maksudnya adalah kebenaran yang sifatnya memberikan “pencerahan” bagi jiwa; misalnya saja “perbuatan maksiat itu artinya sama dengan menanda tangani kontrak untuk tinggal di neraka. “

Sayidina Ali bin Abi Thalib r.a berkata :


“Janganlah kamu mengenal dan mengikuti
Kebenaran karena tokohnya; tetapi kenalilah ke-
Benaran itu sendiri, niscaya kamu akan
Mengetahui siapa tokohnya!”

Allah menganugerahkan al-hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.
Al- Baqarah (2) : 269


Seperti halnya rezeki, maka hikmah ini pun hanya dapat diberikan Allah kepada orang-orang yang berusaha untuk mendapatkannya; yaitu yang mau menggunakan kemampuan akal dan rasa yang dimilikinya untuk bertafakur. Sayidina Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Tiada ilmu yang lebih baik daripada hasil tafakur.” Dan di dalam Al-Qur’an pun, ditemukan tidak kurang dari 130 kali perintah Allah untuk berfikir (antara lain pada surat Shaad:29, Adz-Dzariyaat 20-21, Yunus:24) ; serta kehinaan akan menimpa orang yang tidak mau bertafakur(Al furqan:44, Al-A’raaf:179, Al-Mulk:10).

Apa yang harus di tafakuri ?

Sesungguhnya buah dari tafakur adalah keyakinan-keyakinan ilahiyyah yang akan memudahkan kita dalam pengendalian diri agar dapat selalu taat pada keinginan Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu banyak obyek yang dapat di tafakuri, antara lain :
Bertafakur mengenai tanda-tanda yang menunjukan kekuasaan Allah; akan lahir darinya rasa tawadhu (rendah hati) dan rasa taqzim akan keagungan Allah.
Bertafakur mengenai kenikmatan – kenikmatan yang telah Allah berikan; akan lahir darinya rasa cinta dan syukur kepada Allah.
Bertafakur tentang janji Allah; akan lahir darinya rasa cinta kepada Akhirat.
Bertafakur tentang ancaman Allah; akan lahir darinya rasa takut kepada Allah.
Bertafakur tentang sejauh mana ketaatan kita kepada Allah sementara ia selalu mencurahkan karunianya kepada kita; akan lahir darinya kegairahan dalam beribadah.

Contoh Tafakur :

Bila direnungkan, sedetik dari hidup ini pun sudah mukzizat. Bagaimana kita bisa bernafas, punya jantung yang berdetak, mata berkedip, telinga yang dapat mendengar, lidah yang dapat merasakan kenikmatan makanan, dan seterusnya. Semuanya sungguh menakjubkan !
Ketika gigi tanggal satu, kita menjadi susah makan. Ya Allah, gigi satu hilang begitu susahnya. Sekian tahun Engkau berikan gigi itu, baru sekarang disadari artinya ketika dia copot. Satu gigi menjadi begitu bernilainya, lalu bagaimana dengan tangan, hidung, mata, telinga dan otak ?
Dengan bertafakur seperti ini, akan timbul rasa malu. Betapa Allah telah memberikan karunia yang sangat banyak, tetapi kita tidak mengabdi kepada-Nya dengan bersungguh-sungguh.
Mengerti atau mengenal “kebenaran” saja tidaklah cukup. Karena Al-Qur’an mengatakan, bahwa orang yang terhindar dari “kerugian” adalah mereka yang memenuhi 4 kriteria; pertama, yang mengenal kebenaran; kedua, yang mengamalkan kebenaran; ketiga, yang saling nasihat menasihati mengenai kebenaran; dan keempat, yang sabar dan tabah dalam mengamalkan serta mengajarkan kebenaran.

Al-Qur’an tanpa akal lumpuh, Akal tanpa bimbingan Al-Qur’an tertipu !
Akal tanpa Qolbu, menjadikan manusia seperti robot;
Pikir tanpa Zikir, menjadikan manusia seperti setan

Bertafakurlah dengan Pikir dan Zikir sehingga akan menimbulkan keyakinan/hikmah yang akan mengakibatkan kita menjadi orang yang TAAT, dan dengan TAAT hidup Bahagia , Akherat Surga.

Contoh tafakur mengenai MUSIBAH :

Bila kita pikir dengan akal :

Musibah tidak diragukan lagi adalah sesuatu yang buruk
Tidak ada seorangpun yang mau menerima musibah
Musibah identik dengan apes atau sial
Musibah merupakan hasil perbuatan jahat orang lain pada diri kita
Musibah terjadi semata-mata karena kecerobohan kita saja.

Dari proses pikir yang demikian, akan menghasilkan output antara lain:

Wajar orang mengalami Stress ketika tertimpa musibah
Orang yang ditimpa musibah adalah orang yang malang, yaitu orang yang sedang apes atau sial.
Berbuatlah dengan perhitungan yang matang supaya tidak tertimpa musibah.

Hasil ini akan berbeda bila disertai dengan zikir (menghadirkan ‘nuansa ilahiyyah’ dalam kalbu kita):
Allah Selamanya Maha Pengasih dan Maha Penyayang
Allah tidak Zalim, Ia Maha Adil
Allah Maha Pandai, Maha Pengatur lagi Maha Suci
Allah mendengar doa manusia

Interaksi ( perpaduan ) antara pikir dan Zikir akan menghasilkan keyakinan-keyakinan sebagai berikut :

Tidak wajar bila kita Stress pada waktu mengalami musibah, bukankah hal ini merupakan realisasi dari permintaan kita “ihdinashshiraathal mustaqiim” ?
Bila Allah memberikan musibah, sebenarnya yang ingin Dia sampaikan oada kita adalah hikmah = “banyak kenikmatan yang dilipat diantara taring-taring bencana.”Musibah adalah tanda cinta Allah pada kita, yaitu Dia memberikan peluang bagi kita untuk meningkatkan ketaqwaan, bukankah manusia yang paling hebat itu adalah yang paling taqwa ?

Bismillahirrohmanirrohiim

Fali yang Abi sayangi,

Abimu ini bukanlah seorang ulama atau ahli bahasa arab, dan Abi tidak pula menguasai 14 ilmu. Abi hanyalah orang biasa, yang kebetulan saja ketika menyelami samudera Ilahiyyah, menemukan banyak mutiara. Nah, mutiara-mutiara inilah yang ingin Abi bagi-bagikan kepada Fauzan ali khususnya, yaitu sebagai bekal dalam pengembaraan fali di alam dunia ini.

Rasulullah saw, manusia paling bijak dan paling mulia yang menjadi panutan kita, dalam suatu hadits yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari pernah bersabda :

Aku telah datang ke surga, maka terlihat olehku kebanyakan mereka adalah para fakir miskin; dan tatkala aku menjenguk ke neraka, terlihat olehku kebanyakan mereka adalah perempuan.

Insya Allah, Blog ini dapat bermanfaat sebagai tuntunan untuk memudahkan Fali dalam memahami dan mengamalkan Al-Qur’an dan Al-Hadits, sehingga di alam pengembaraan ini fali dapat hidup bahagia, dan di akhir perjalanan nanti terhindar dari kategori perempuan sebagaimana yang dimaksud oleh Rasulullah saw di atas.

“Semua anak Adam juru salah……
dan sebaik-baiknya orang-orang salah itu, yang cepat bertaubat.”


Akhirnya Abi berdoa kepada Allah swt, semoga usaha Abi ini tidaklah sia-sia belaka. Amiin

Jakarta 22 Mei 2008

Pribadinya
Ayahnya adalah: Abu Thalib, paman Nabi saw, bin Abdul Muththalib, bin Hasyim, bin Abdi Manaf, bin Qushayy. Ibunya adalah: Fathimah binti Asad, bin Hasyim, bin Abdi Manaf. Saudara-saudara kandungnya adalah: Thalib, 'Uqail, Ja'far dan Ummu Hani.
Dengan demikian, jelaslah, Ali adalah berdarah Hasyimi dari kedua ibu-bapaknya. Keluarga Hasyim memiliki sejarah yang cemerlang dalam masyarakat Mekkah. Sebelum datangnya Islam, keluarga Hasyim terkenal sebagai keluarga yang mulia, penuh kasih sayang, dan pemegang kepemimpinan masyarakat. Ibunya adalah Fathimah binti Asad, yang kemudian menamakannya Haidarah. Haidarah adalah salah satu nama singa, sesuai dengan nama ayahnya: Asad (singa). Fathimah adalah salah seorang wanita yang terdahulu beriman dengan Risalah Nabi Muhammad Saw. Dia pula-lah yang telah mendidik Nabi Saw, dan menanggung hidupnya, setelah meninggalnya bapak-ibu beliau, Abdullah dan Aminah. Beliau kemudian membalas jasanya, dengan menanggung kehidupan Ali, untuk meringankan beban pamannya, Abu Thalib, pada saat mengalami kesulitan ekonomi. Saat Fathimah meninggal dunia, Rasulullah Saw yang mulai mengkafaninya dengan baju qamisnya, meletakkannya dalam kuburnya, dan menangisinya, sebagai tangisan seorang anak atas ibunya. Dan bersabda:
"Semoga Allah SWT memberikan balasan yang baik bagi ibu asuhku ini. Engkau adalah orang yang paling baik kepadaku, setelah pamanku dan almarhumah ibuku. Dan semoga Allah SWT meridhai-mu."
Dan karena penghormatan beliau kepadanya, maka beliau menamakan anaknya yang tersayang dengan namanya: Fathimah. Darinyalah kemudian mengalir nasab beliau yang mulia, yaitu anak-anaknya: Hasan, Husein, Zainab al Kubra dan Ummu Kultsum.
Haidarah adalah nama Imam Ali yang dipilihkan oleh ibunya. Namun ayahnya menamakannya dengan Ali, sehingga dia terkenal dengan dua nama tersebut, meskipun nama Ali kemudian lebih terkenal.
Anak-anaknya adalah: Hasan, Husein, Zainab, Ummu Kultsum, dari Fathimah binti Rasulullah Saw. Seorang isteri yang tidak pernah diperlakukan buruk oleh Ali r.a. selama hidupnya. Bahkan Ali tetap selalu mengingatnya setelah kematiannya. Ia juga mempunyai beberapa orang anak dari isteri-isterinya yang lain, yang ia kawini setelah wafatnya Fathimah r.a. Baik isteri dari kalangan wanita merdeka maupun hamba sahaya. Yaitu: Muhsin, Muhammad al Akbar, Abdullah al Akbar, Abu Bakar, Abbas, Utsman, Ja'far, Abdullah al Ashgar, Muhammad al Ashghar, Yahya, Aun, Umar, Muhammad al Awsath, Ummu Hani, Maimunah, Rahmlah ash Shugra, Zainab ash Shugra, Ummu Kaltsum ash Shugra, Fathimah, Umamah, Khadijah, Ummu al Karam, Ummu Salmah, Ummu Ja'far, Jumanah, dan Taqiyyah.
Keturunannya yang mulia, selanjutnya mengalir dari Hasan, Husain, Muhammad bin Hanafiah, Umar dan Abbas. Karena kecintaan dan penghormatannya yang mendalam terhadap sahabat Nabi yang mulia, dan yang telah dijanjikan masuk surga, maka ia menamakan beberapa orang anaknya dengan nama-nama mereka, yaitu: Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Abu Bakar, anaknya, terbunuh bersama Husain dalam peristiwa Karbala. Anak ini merupakan anak dari isterinya, Laila bin Mi'waz. Sementara anaknya Utsman yang dilahirkan dari isterinya Ummu Banin, juga terbunuh dalam perisitwa Karbala. Sedangkan Umar adalah anaknya dari Ummu Habib ash Shahba.
Saat imam Ali mendapatkan mati syahid, ia meninggalkan empat orang isteri yang merdeka, yaitu: Umamah, Laila, Ummu Banin dan Asma bin 'Umais. Serta delapan belas orang hamba sahaya wanita.
Jumlah seluruh anak lakinya adalah lima belas orang, dan anak perempuannya adalah delapan belas orang.

Kelahirannya
Fathimah binti Asad melahirkan anaknya, Haidarah (Ali KW), di Ka'bah, pada dua puluh satu tahun sebelum hijrah. Ada yang mengatakan, pada tahun ke tiga puluh dua dari kelahiran Rasulullah saw. Ia adalah anak bungsu dari kedua orang tuanya, selain Ja'far, Uqail dan Thalib. Saat Abu Thalib mengalamai krisis ekonomi karena kekeringan yang melanda, seperti yang dialami oleh orang-orang Quraisy, Rasulullah saw menyarankan kepada kedua pamannya: Hamzah dan Abbas untuk turut membantu meringankan beban saudaranya, Abu Thalib, dengan menanggung biaya hidup anaknya. Maka keduanya pun memenuhi permintaan tersebut. Mengetahui hal itu, Abu Thalib berkata kepada kedua saudaranya tersebut,: "Ambillah siapa yang kalian ingini, namun tinggalkanlah Uqail, untuk tetap aku didik." Uqail adalah anak yang paling disayangi oleh Abu Thalib. Maka Abbas mengambil Thalib, Hamzah mengambil Ja'far dan Rasulullah saw mengambil Ali KW.
Adalah Nabi Saw bagi anak keponakannya, Ali KW, bertindak sebagai bapak, saudara, teman, dan guru pendidik. Dan Ali pun menerima beliau pengganti kedua orang tua, dan keluarganya. Sehingga ia pun terdidik dalam didikan Nabi Saw. Ia Merupakan keturunan puncak keluarga Hasyimiah, yang darinya terlahir kemuliaan, kedermawanan, sifat pemaaf, ksaih sayang dan hikmah yang lurus.
Seperti diriwayatkan, ia tumbuh menjadi anak yang cepat matang. Di wajahnya tampak jelas kematangannya, yang juga menunjukkan kekuatan, dan ketegasan. Saat ia menginjak usia pemuda, ia segera berperan penuh dalam dakwah Islam, tidak seperti yang dilakukan oleh pemuda seusianya. Contoh yang paling jelas adalah keikhlasannya untuk menjadi tameng Rasulullah Saw saat beliau hijrah, dengan menempati tempat tidur beliau. Ia juga terlibat dalam peperangan yang hebat, seperti dalam perang Al Ahzab, dia pula yang telah menembus benteng Khaibar. Sehingga dia dijuluki sebagai pahlawan Islam yang pertama.
Isteri-isterinya: setelah Fathimah az Zahra wafat, Imam Ali menikahi Umamah bin Abi Al Ash bin Rabi' bin Abdul Uzza al Qurasyiyyah. Selanjutnya menikahi Umum Banin bini Haram bin Khalid bin Darim al Kulabiyah. Kemudian Laila binti Mas'ud an Nahsyaliyyah, ad Daarimiyyah dari Tamim. Berikutnya Asmaa binti 'Umais, yang sebelumnya merupakan isteri Ja'far bin Abi Thalib, dan selanjutnya menjadi isteri Abu Bakar (hingga ia meninggal), dan berikutnya menjadi isteri imam Ali. Selanjutnya ia menikahi Ummu Habib ash Shahbaa at Taghalbiyah. Kemudian, Khaulah binti Iyas bin Ja1far al Hanafiyyah. Selanjutnya Ummu Sa'd ats Tsaqafiyyah. Dan Mukhabba'ah bintih Imri'il Qais al Kulabiyyah.
Sifat-sifatnya: Imam Ali KW adalah seorang dengan perawakan sedang, antara tinggi dan pendek. Perutnya agak menonjol. Pundaknya lebar. Kedua lengannya berotot, seakan sedang mengendarai singa. Lehernya berisi. Bulu jenggotnya lebat. Kepalanya botak, dan berambut di pinggir kepala. Matanya besar. Wajahnya tampan. Kulitnya amat gelap. Postur tubuhnya tegap dan proporsional. Bangun tubuhnya kokoh, seakan-akan dari baja. Berisi. Jika berjalan seakan-akan sedang turun dari ketinggian, seperti berjalannya Rasulullah Saw. Seperti dideskripsikan dalam kitab Usudul Ghaabah fi Ma'rifat ash Shahabah: adalah Ali bin Abi Thalib bermata besar, berkulit hitam, berotot kokoh, berbadan besar, berjenggot lebat, bertubuh pendek, amat fasih dalam berbicara, berani, pantang mundur, dermawan, pemaaf, lembut dalam berbicara, dan halus perasaannya.
Jika ia dipanggil untuk berduel dengan musuh di medan perang, ia segera maju tanpa gentar, mengambil perlengkapan perangnya, dan menghunuskan pedangnya. Untuk kemudian menjatuhkan musuhnya dalam beberapa langkah. Karena sesekor singa, ketika ia maju untuk menerkam mangsanya, ia bergerak dengan cepat bagai kilat, dan menyergap dengan tangkas, untuk kemudian membuat mangsa tak berkutik.
Tadi adalah sifat-sifat fisiknya. Sedangkan sifat-sifat kejiwaannya, maka ia adalah sosok yang sempurna, penuh dengan kemuliaan.
Keberaniannya menjadi perlambang para kesatria pada masanya. Setiap kali ia menghadapi musuh di medan perang, maka dapat dipastikan ia akan mengalahkannya.
Seorang yang takwa tak terkira, tidak mau masuk dalam perkara yang syubhat, dan tidak pernah melalaikan syari'at.
Seorang yang zuhud, dan memilih hidup dalam kesederhanaan. Ia makan cukup dengan berlauk-kan cuka, minyak dan roti kering yang ia patahkan dengan lututnya. Dan memakai pakaian yang kasar, sekadar untuk menutupi tubuh di saat panas, dan menahan dingin di kala hawa dingin menghempas.
Penuh hikmah, adalah sifatnya yang jelas. Dia akan berhati-hati meskipun dalam sesuatu yang ia lihat benar, dan memilih untuk tidak mengatakan dengan terus terang, jika hal itu akan membawa mudharat bagi umat. Ia meletakkan perkara pada tempatnya yang tepat. Berusaha berjalan seirama dengan rekan-rekan pembawa panji dakwah, seperti keserasian butiran-butiran air di lautan.
Ia bersikap lembut, sehingga banyak orang yang sezaman dengannya melihat ia sedang bergurau, padahal hal itu adalah suatu bagian dari sifat kesempurnaan yang melihat apa yang ada di balik sesuatu, dan memandang kepada kesempurnaan. Ia menginginkan agar realitas yang tidak sempurna berubah menjadi lurus dan meningkat ke arah kesempurnaan. Gurauan adalah 'anak' dari kritik. Dan ia adalah 'anak' dari filsafat. Menurutku, gurauan yang tepat adalah suatu tanda ketinggian intelektualitas para tokoh pemikir dalam sejarah.
Ia terkenal kefasihannya. Sehingga ucapan-ucapannya mengandung nilai-nilai sastra Arab yang jernih dan tinggi. Baik dalam menciptakan peribahasa maupun hikmah. Ia juga mengutip dari redaksi Al Quran, dan hadits Rasulullah Saw, sehingga menambah benderang dan semerbak kata-katanya. Yang membuat dirinya berada di puncak kefasihan bahasa dan sastra Arab.
Ia amat loyal terhadap pendidiknya, Nabi-nya, juga Rabb-nya. Serta berbuat baik kepada kerabatnya. Amat mementingkan isterinya yang pertama, Fathimah az Zahra. Dan ia selalu berusaha memberikan apa yang baik dan indah kepada orang yang ia senangi, kerabatnya atau kenalannya.
Ia berpendirian teguh, sehingga menjadi tokoh yang namanya terpatri dalam sejarah. Tidak mundur dalam membela prinsip dan sikap. Sehingga banyak orang yang menuduhnya bodoh dalam politik, tipu daya bangsa Arab, dan dalam hal melembutkan sikap musuh, sehingga kesulitan menjadi berkurang. Namun, sebenarnya kemampuannya jauh di atas praduga yang tidak benar, karena ia tahu apa yang ia inginkan, dan menginginkan apa yang ia tahu. Sehingga, di samping kemanusiaannya, ia seakan-akan adalah sebuah gunung yang kokoh, yang mencengkeram bumi. Itu emua adalah cermin dari percaya dirinya, keimanannya, dan keyakinanya terhadap Rabb-nya, lantas bagaimana mungkin ia menjadi lembek?
Ia dengan teguh menolak sikap yang tidak sesuai dengan kebenaran, atau syari'ah, atau akhlak atau kemuliaan. Jiwanya yang mulia menolak untuk menipu seorang gubernur yang senang berkuasa, dan yang menghamburkan kekayaan umat untuk kepentingan hamba nafsunya. Ia tidak tidak peduli dengan orang yang membenci, atau orang yang memusuhinya. Menurutku, ia adalah sifat orang yang kuat, baik dalam kepribadiaannya, pendapatnya dan dalam memegang kebenaran.
Barangkali ada yang berpikir bahwa ia telah bersikap lunak dalam peristiwa tahkim (arbitrase). Namun menurutku, dugaan seperti itu adalah suatu kebodohan. Imam Ali KW tidak bersifat lembek, namun ia lebih mementingkan persatuan umat. Karena orang-orang yang ikut bersidang saat itu sedang berada dalam kubu-kubu yang saling berbeda pendapat. Maka ia memilih untuk keluar dari kondisi terburuk menuju kondisi yang buruk. Ia telah menegaskan hal itu, dan memberi peringatan kepada para pengikutnya. Namun ternyata orang-orang yang berada di sekitarnya tenggelam dalam perdebatan tanpa ujung dan pertikaian tanpa henti. Sehingga terjadilah peristiwa-peristiwa yang memilukan.
Rasa kasih sayang dalam hatinya-lah yang mendorong dirinya untuk bersikap lunak dan tidak keras. Hal itu ia lakukan karena ingin menyelamatkan orang lain, sehingga ia rela meletakkan dirinya dalam bahaya. Ia rela untuk menebus nyawa orang yang ia kasihi, atau kelompok orang yang beriman, atau beberapa orang yang sedang diincar oleh musuh, dengan nyawanya. Sehingga diapun bersikap lunak, dan meminta jalan yang lebih baik. Agar kasih sayang mengalahkan kecemburuan, kecintaan mengalahkan kekerasan, dan menjauhkan orang-orang yang ia sayangi dari kebinasaan. Orang yang membaca apa yang ia pinta kepada Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Abdullah, niscaya akan mengetahui bahwa keduanya telah menghianatinya, dan memeranginya. Maka iapun mengecam keduanya, dengan kecaman seorang penyayang terhadap orang yang ia sayangi. Ia mengingatkan keduanya tentang janji-janji yang pernah mereka ucapkan, dan kebersamaan mereka dalam menegakkan kalimat Allah SWT. Apa yang ia lakukan saat terjadi bentrokan yang terjadi antara dirinya dan Aisyah menjadi bukti akan ketinggian sifat kasih sayangnya, kemuliaan perasaannya, dan usahanya yang keras untuk memadamkan tanda-tanda ambisi rendahan, yang tidak layak bagi tokoh besar seperti dirinya, juga bagi tokoh mulia semacam Aisyah r.a. Oleh karena itu, ia berusaha melakukan negosiasi yang hanya dapat dilakukan oleh orang besar semacam dirinya, yaitu para mujahidin yang mulia

Langganan: Postingan (Atom)