KEBERADAAN MANUSIA MELALUI SUATU PROSES
Allah selalu menciptakan sesuatu secara bertahap, yaitu dengan melalui suatu proses yang berkesinambungan. Manusia misalnya, ia diciptakan tidak langsung dewasa. Tetapi melalu proses yang bermulai dari bentuk air, lalu menjadi janin, kemudian menjadi bayi, lalu menjadi anak-anak, dan akhirnya menjadi dewasa. Demikian juga dengan tanaman. Dimulai dari biji, kemudian timbul tunas, batang, daun dan seterusnya, sampai akhirnya berbunga atau berbuah.
Yang perlu fali sadari dari fenomena ini ialah, baik atau buruknya kualitas manusia atau pun tumbuhan setelah dewasa nanti, sangat ditentukan oleh proses pemeliharaan atau bekal yang diterimanya dari sejak dini. Kualitas manusia di dunia, ditentukan sejak mulai berada dalam perut ibunya. Si calon ibu ini memakan makanan yang bergizi agar kelak bayinya sehat. Kemudian bayi tersebut diberinya makanan yang baik, serta dilindungi keamanannya supaya menjadi anak yang sehat. Selanjutnya, anak ini dilengkapi dengan gizi dan bekal pendidikan yang cukup, disekolahkan yang tinggi, sehingga pada akhirnya ia menjadi orang
Tumbuhan pun demikian. Pemeliharaannya dari sejak kecil di beri pupuk, disiram, disiangi, dilindungi dengan anti hama akan menentukan kualitasnya pada saat ia berbunga atau berbuah nanti.
Demikian pulalah kiranya Allah menjadikan eksistensi manusia di akhirat.
Kualitas manusia di akhirat nanti, akan ditentukan setelah ia melalui proses ujian demi ujian terhadap ketaatannya pada Allah selama hidupnya di dunia. Jadi jelaslah, kualitas fali di akhirat nanti, tergantung pada keberhasilan fali sendiri dalam mengatasi ujian – ujian yang dihadapi, apakah fali mampu selalu taat mengikuti perintah-perintahNya, atau membangkang sebagaimana yang dilakukan iblis ketika diperintahkan sujud kepada Adam.
Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya,
Niscaya Allah memasukannya ke dalam surga.
Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya
Dan melanggar ketentuan-ketentuanNya, niscaya
Allah memasukannya kedalam api neraka sedang ia
Kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan
An-Nisaa’ (4):13,14
TUJUAN HIDUP
Setelah fali memahami apa yang akhirnya akan dituju oleh setiap manusia, serta ‘Kualitas’ berasal dari suatu proses, maka yang perlu fali ketahui selanjutnya adalah, apa sebenarnya tujuan hidup manusia di dunia. Kesadaran ini sangat penting. Karena seseorang yang tidak mengetahui untuk apa tujuan hidupnya, maka pastilah ia tidak mengerti siapa dirinya itu, dan dari mana ia berasal. Akibatnya, ia akan melangkah ke arah yang keliru.
Selanjutnya, dengan memperhatikan firman-firman Allah yang telah dikutip sebelumnya, jelaslah bahwa tujuan hidup manusia di dunia, pada hakikatnya adalah untuk mencari/mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya bagi kehidupan akhirat. Tingkat manusia di akhirat nanti, akan ditentukan oleh sedikit banyaknya bekal yang dibawa dari dunia. Semakin banyak bekalnya, maka akan semakin tinggi pula tingkat kemuliaannya. Apakah yang dimaksud dengan bekal itu ? Jika untuk mencapai kedudukan tinggi di masyarakat kita harus berbekal pendidikan yang cukup, maka untuk mencapai kedudukan tinggi di akhirat nanti, yang kita perlukan adalah pahala.
Dengan demikian dapatlah dikatakan, kehidupan di alam dunia ini adalah arena untuk mengumpulkan pahala bagi kehidupan akhirat. Semakin banyak pahala yang berhasil kita raih, maka semakin tinggi pula tingkat kita kelak.
Abdullah bin Abbas berkata :
“Sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan dunia terdiri atas tiga bagian; sebagian bagi mukminin, sebagian bagi orang munafik, sebagian bagi orang kafir. Maka orang mukmin menyiapkan perbekalan, orang munafik menjadikannya perhiasan, dan orang kafir menjadikannya tempat bersenang-senang.”
TEMPAT MENCARI PAHALA
Pahala adalah hadiah yang diberikan Allah kepada manusia apabila ia lulus dari ujian yang dihadapinya. Ujian-ujian ini pada dasarnya terletak pada dua jalur, yaitu jalur hablum-minallah dan jalur hablum-minannas. Pada kedua jalur ini, Allah dan Rasul-Nya telah menentukan “aturan main” bagaimana manusia harus bersikap. Misalnya saja, dalam jalur hablum-minnallah manusia diwajibkan shalat; dan dalam jalur hablum-minannas manusia diwajibkan berbuat baik terhadap sesamanya. Semua “Aturan Main” ini tertuang lengkap dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah saw.
Allah melengkapi manusia dengan mata, telinga, dan hati bukan tanpa tujuan. “Perlengkapan” ini merupakan sarana bagi Allah untuk menguji manusia, apakah dalam setiap situasi dan kondisi – baik atau pun buruk – ia mampu tetap taat mengikuti “aturan main” yang sudah ditetapkan-Nya atau tidak.
Simaklah baik-baik surat Al-Insaan:2,3 berikut :
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.
Al-Insaan (76):2,3
Supir ugal-ugalan dijalan raya, atasan yang menjengkelkan, kolega yang picik, ataupun teman yang menyebalkan, ini semua terjadi karena Allah melengkapi kita dengan mata, telinga dan hati. Oleh karena itu, orang-orang negatif ini harus dipandang sebagai ujian Allah pada jalur hablum-minannas. Apabila orang-orang ini dapat kita hadapi sesuai dengan tuntunan yang diberikan-Nya melalu Rasul-Nya, maka berarti kita lulus. Sebaliknya, bila mereka kita hadapi dengan emosi atau nafsu, maka berarti kita gagal. Hendaklah kita senantiasa mengingat pengalaman para bijak, “Kepuasan sejati bukanlah menuruti hawa nafsu, tetapi kepuasan sejati adalah keberhasilan menahan diri untuk tidak mengikuti hawa nafsu.”
Dengan demikian, dapatlah dimengerti, bahwa semua masalah, baik itu masalah hubungan dengan Allah (seperti misalnya rasa malas mendirikan shalat), maupun masalah hubungan dengan manusia (seperti misalnya menghadapi orang yang menjengkelkan), pada hakikatnya adalah hendak menguji, mampu atau tidak kita bersikap sesuai dengan kehendak Allah dan Rasulullah saw. Bila kita dapat bertindak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Al-Qur’an dan hadits dengan niat “ lillahi ta’ala”, maka berarti kita lulus. Sebaliknya, bila masalah itu kita hadapi dengan nafsu, berarti kita gagal. Begitulah medan perjalanan yang harus ditempuh manusia dalam menuju surga. Dalam perjalanan itu pasti akan ditemui halangan dan rintangan yang kesemuanya itu merupakan ujian apakah kita mampu mengatasinya atau tidak.
Barang siapa yang mengerjakan amal-amal
Saleh baik ia laki-laki maupun perempuan sedangkan ia
orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke
Dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun.
An-Nisaa’(4):124
Dan surga itu diberikan kepada kamu
Berdasarkan amal yang telah kamu kerjakan.
Az-Zuhruf(43):72
Dengan memahami hal tersebut diatas, akan dapat mencegah fali tertipu dan terlena mengikuti emosi atau pikiran negatif, sehingga tidak akan menyimpang dari aturan main yang ditetapkan-Nya. Dan, insya Allah, Fali tidak akan mengalami stress ataupun menjadi pendendam.
Akhirnya, pada diri anandaku Fauzan Ali, tanyakanlah pada diri sendiri ….
SIAPAKAH AKU?
Darimana asalku, dan hendak kemana Aku menuju? Untuk apakah Aku diciptakan-Nya? Apa cita-citaku? Siapa Musuhku? Apa senjataku? Siapakah istriku / suamiku? Siapakah anakku? Apakah kompas hidupku? Siapakah tokoh idolaku? Berapa lama jatah yang diberikan-Nya padaku untuk tinggal di dunia? Kemanakah Aku akan pergi setelah itu? Bagaimana keadaanku nanti disana? Makin susah ataukah makin senang?
Bila Fali bisa menjawab semuanya itu, berarti fali sudah mulai mengerti dan memahami apa yang abi maksud.
Jakarta, 19 september 2008 at 22.00 WIB