Untuk Ananda tercinta Fauzan Ali

Sebuah blog untuk mencapai pencerahan jiwa berdasarkan pengalaman dan pemikiran pribadi untuk anak tercinta Fauzan Ali.


Setelah fali memahami apa artinya hidup ini dan tafakur sebagai jalan masuknya hikmah, maka yang perlu fali ketahui selanjutnya adalah Untuk apa Fali dilahirkan di dunia ini.

KEBERADAAN MANUSIA MELALUI SUATU PROSES

Allah selalu menciptakan sesuatu secara bertahap, yaitu dengan melalui suatu proses yang berkesinambungan. Manusia misalnya, ia diciptakan tidak langsung dewasa. Tetapi melalu proses yang bermulai dari bentuk air, lalu menjadi janin, kemudian menjadi bayi, lalu menjadi anak-anak, dan akhirnya menjadi dewasa. Demikian juga dengan tanaman. Dimulai dari biji, kemudian timbul tunas, batang, daun dan seterusnya, sampai akhirnya berbunga atau berbuah.

Yang perlu fali sadari dari fenomena ini ialah, baik atau buruknya kualitas manusia atau pun tumbuhan setelah dewasa nanti, sangat ditentukan oleh proses pemeliharaan atau bekal yang diterimanya dari sejak dini. Kualitas manusia di dunia, ditentukan sejak mulai berada dalam perut ibunya. Si calon ibu ini memakan makanan yang bergizi agar kelak bayinya sehat. Kemudian bayi tersebut diberinya makanan yang baik, serta dilindungi keamanannya supaya menjadi anak yang sehat. Selanjutnya, anak ini dilengkapi dengan gizi dan bekal pendidikan yang cukup, disekolahkan yang tinggi, sehingga pada akhirnya ia menjadi orang

Tumbuhan pun demikian. Pemeliharaannya dari sejak kecil di beri pupuk, disiram, disiangi, dilindungi dengan anti hama akan menentukan kualitasnya pada saat ia berbunga atau berbuah nanti.

Demikian pulalah kiranya Allah menjadikan eksistensi manusia di akhirat.

Kualitas manusia di akhirat nanti, akan ditentukan setelah ia melalui proses ujian demi ujian terhadap ketaatannya pada Allah selama hidupnya di dunia. Jadi jelaslah, kualitas fali di akhirat nanti, tergantung pada keberhasilan fali sendiri dalam mengatasi ujian – ujian yang dihadapi, apakah fali mampu selalu taat mengikuti perintah-perintahNya, atau membangkang sebagaimana yang dilakukan iblis ketika diperintahkan sujud kepada Adam.

Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya,
Niscaya Allah memasukannya ke dalam surga.
Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya
Dan melanggar ketentuan-ketentuanNya, niscaya
Allah memasukannya kedalam api neraka sedang ia
Kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan
An-Nisaa’ (4):13,14


TUJUAN HIDUP

Setelah fali memahami apa yang akhirnya akan dituju oleh setiap manusia, serta ‘Kualitas’ berasal dari suatu proses, maka yang perlu fali ketahui selanjutnya adalah, apa sebenarnya tujuan hidup manusia di dunia. Kesadaran ini sangat penting. Karena seseorang yang tidak mengetahui untuk apa tujuan hidupnya, maka pastilah ia tidak mengerti siapa dirinya itu, dan dari mana ia berasal. Akibatnya, ia akan melangkah ke arah yang keliru.

Selanjutnya, dengan memperhatikan firman-firman Allah yang telah dikutip sebelumnya, jelaslah bahwa tujuan hidup manusia di dunia, pada hakikatnya adalah untuk mencari/mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya bagi kehidupan akhirat. Tingkat manusia di akhirat nanti, akan ditentukan oleh sedikit banyaknya bekal yang dibawa dari dunia. Semakin banyak bekalnya, maka akan semakin tinggi pula tingkat kemuliaannya. Apakah yang dimaksud dengan bekal itu ? Jika untuk mencapai kedudukan tinggi di masyarakat kita harus berbekal pendidikan yang cukup, maka untuk mencapai kedudukan tinggi di akhirat nanti, yang kita perlukan adalah pahala.

Dengan demikian dapatlah dikatakan, kehidupan di alam dunia ini adalah arena untuk mengumpulkan pahala bagi kehidupan akhirat. Semakin banyak pahala yang berhasil kita raih, maka semakin tinggi pula tingkat kita kelak.

Abdullah bin Abbas berkata :

“Sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan dunia terdiri atas tiga bagian; sebagian bagi mukminin, sebagian bagi orang munafik, sebagian bagi orang kafir. Maka orang mukmin menyiapkan perbekalan, orang munafik menjadikannya perhiasan, dan orang kafir menjadikannya tempat bersenang-senang.”

TEMPAT MENCARI PAHALA

Pahala adalah hadiah yang diberikan Allah kepada manusia apabila ia lulus dari ujian yang dihadapinya. Ujian-ujian ini pada dasarnya terletak pada dua jalur, yaitu jalur hablum-minallah dan jalur hablum-minannas. Pada kedua jalur ini, Allah dan Rasul-Nya telah menentukan “aturan main” bagaimana manusia harus bersikap. Misalnya saja, dalam jalur hablum-minnallah manusia diwajibkan shalat; dan dalam jalur hablum-minannas manusia diwajibkan berbuat baik terhadap sesamanya. Semua “Aturan Main” ini tertuang lengkap dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah saw.

Allah melengkapi manusia dengan mata, telinga, dan hati bukan tanpa tujuan. “Perlengkapan” ini merupakan sarana bagi Allah untuk menguji manusia, apakah dalam setiap situasi dan kondisi – baik atau pun buruk – ia mampu tetap taat mengikuti “aturan main” yang sudah ditetapkan-Nya atau tidak.

Simaklah baik-baik surat Al-Insaan:2,3 berikut :

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.
Al-Insaan (76):2,3


Supir ugal-ugalan dijalan raya, atasan yang menjengkelkan, kolega yang picik, ataupun teman yang menyebalkan, ini semua terjadi karena Allah melengkapi kita dengan mata, telinga dan hati. Oleh karena itu, orang-orang negatif ini harus dipandang sebagai ujian Allah pada jalur hablum-minannas. Apabila orang-orang ini dapat kita hadapi sesuai dengan tuntunan yang diberikan-Nya melalu Rasul-Nya, maka berarti kita lulus. Sebaliknya, bila mereka kita hadapi dengan emosi atau nafsu, maka berarti kita gagal. Hendaklah kita senantiasa mengingat pengalaman para bijak, “Kepuasan sejati bukanlah menuruti hawa nafsu, tetapi kepuasan sejati adalah keberhasilan menahan diri untuk tidak mengikuti hawa nafsu.”

Dengan demikian, dapatlah dimengerti, bahwa semua masalah, baik itu masalah hubungan dengan Allah (seperti misalnya rasa malas mendirikan shalat), maupun masalah hubungan dengan manusia (seperti misalnya menghadapi orang yang menjengkelkan), pada hakikatnya adalah hendak menguji, mampu atau tidak kita bersikap sesuai dengan kehendak Allah dan Rasulullah saw. Bila kita dapat bertindak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Al-Qur’an dan hadits dengan niat “ lillahi ta’ala”, maka berarti kita lulus. Sebaliknya, bila masalah itu kita hadapi dengan nafsu, berarti kita gagal. Begitulah medan perjalanan yang harus ditempuh manusia dalam menuju surga. Dalam perjalanan itu pasti akan ditemui halangan dan rintangan yang kesemuanya itu merupakan ujian apakah kita mampu mengatasinya atau tidak.

Barang siapa yang mengerjakan amal-amal
Saleh baik ia laki-laki maupun perempuan sedangkan ia
orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke
Dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun.
An-Nisaa’(4):124


Dan surga itu diberikan kepada kamu
Berdasarkan amal yang telah kamu kerjakan.
Az-Zuhruf(43):72


Dengan memahami hal tersebut diatas, akan dapat mencegah fali tertipu dan terlena mengikuti emosi atau pikiran negatif, sehingga tidak akan menyimpang dari aturan main yang ditetapkan-Nya. Dan, insya Allah, Fali tidak akan mengalami stress ataupun menjadi pendendam.

Akhirnya, pada diri anandaku Fauzan Ali, tanyakanlah pada diri sendiri ….

SIAPAKAH AKU?

Darimana asalku, dan hendak kemana Aku menuju? Untuk apakah Aku diciptakan-Nya? Apa cita-citaku? Siapa Musuhku? Apa senjataku? Siapakah istriku / suamiku? Siapakah anakku? Apakah kompas hidupku? Siapakah tokoh idolaku? Berapa lama jatah yang diberikan-Nya padaku untuk tinggal di dunia? Kemanakah Aku akan pergi setelah itu? Bagaimana keadaanku nanti disana? Makin susah ataukah makin senang?

Bila Fali bisa menjawab semuanya itu, berarti fali sudah mulai mengerti dan memahami apa yang abi maksud.

Jakarta, 19 september 2008 at 22.00 WIB

Semua manusia, tanpa terkecuali, pasti akan mati. Bila demikian, lalu apa sebenarnya yang akan dituju oleh manusia di alam dunia ini. Apakah manusia hidup semata-mata hanya untuk bekerja, berumah tangga, bersenang-senang dengan harta yang dimilikinya, ataupun berkeluh kesah dalam kemiskinan, kemudian ia lalu mati tidak berdaya?Apakah setelah mati itu ia akan hilang menguap seperti halnya api obor yang padam? Atau, apakah manusia yang dilahirkan dalam “ketiadaan” itu akan mati dalam “ketiadaan” pula ? Bila ya, apakah berarti hidup manusia di dunia ini sia-sia belaka? Tentu tidaklah demikian. Allah telah berfirman, bahwa manusia akan terus ada dan tidak akan pernah menghilang atau menguap. Manusia akan menjalani kehidupan abadi di akhirat.

Dengan demikian, jelaslah bahwa sesungguhnya yang dituju oleh semua manusia adalah akhirat ! Cepat atau lambat, suka atau tidak suka, semua manusia pasti akan menuju kesana.

Apakah kalian mengira bahwa kami
Menciptakan kalian sia-sia, dan bahwa
Sesungguhnya kalian tidak akan di-
Kembalikan kepada Kami ?
Al-Mu’minun (23):115


Apakah manusia mengira,
Bahwa ia akan dibiarkan begitu saja
(tanpa pertanggung jawaban) ?
Al-Qiyamah(75):36

Sesungguhnya hari kiamat akan
Datang (dan) Aku merahasiakan (waktunya)
Agar tiap-tiap diri dibalas dengan apa
Yang diusahakannya.
Thaahaa (20):15


Allah berencana membuat surga dan neraka, yang akan ditempati antara lain oleh manusia. Untuk menentukan siapa yang akan menjadi penghuni surga dan siapa yang menempati neraka, maka Allah membuat ‘Aturan Main’ yang harus di taati, yaitu sebagimana yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Hadits. Manusia yang patuh melaksanakan ‘Aturan Main’ ini, dijanjikan-Nya menjadi penghuni surga. Sebaliknya, manusia yang selalu melanggar ‘Aturan Main’ ini akan di campakan-Nya kedalam neraka. Dengan demikian, hidup manusia di dunia sebenarnya adalah “babak prakualifikasi” untuk menentukan tempat tinggalnya nanti di akherat. Dan disana, karena kita semua telah diberi-Nya kesempatan dan peluang yang sama pada waktu hidup didunia, di manapun kita ditempatkan-Nya, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Masing-masing orang akan menghisab dirinya sendiri, dengan membaca kitab amal perbuatannya selagi hidup di dunia, yang akan digantungkan di lehernya masing-masing [ Al-Israa’ (17):13-14 ]


Keterangan singkat yang diuraikan diatas, sekilas tampaknya sederhana, namun bila Fali renungkan baik-baik, makna yang tersirat sangatlah dalam. Pahamilah hal ini dengan baik, karena inilah fundamen yang paling mendasar untuk dapat menemukan / mengerti kebenaran hidup yang hakiki.

Untuk mematuhi ‘Aturan Main’ yang ditentukan-Nya, maka fali harus selalu ingat Allah. Allah tak akan pernah berhenti menguji keuletan manusia dalam mematuhi aturan main yang ditentukan-Nya. Oleh karena itu fali harus mengetahui dimana letaknya ujian itum dab bagaimana caranya agar dapat lulus dari ujian Allah itu.



Bertafakurlah Sebagai jalan masuknya hikmah

Adalah akan jauh lebih baik, bila fali menemukan kebenaran dari hasil perenungan sendiri daripada menerima suatu kebenaran dari orang lain ( pepatah barat mengatakan : “ I hear I forget, I see I Know, I do I Understand” )

Menerima kebenaran dan menemukan kebenaran adalah sesuatu yang berbeda. Menerima kebenaran cukuplah dengan bertaqlid atau ‘Mengikut’ , sedangkan menemukan kebenaran hanya akan di peroleh melalui perenungan demu perenungan yang mendalam.

Sudah menjadi sunatulah bahwa kebenaran yang ditemukan sendiri, ibarat mata air yang tidak pernah kering; sedangkan kebenaran yang kita terima dari manusia, ibarat hujan di musim kemarau. Tentu saja yang dimaksud kebenaran disini bukanlah kebenaran dalam konteks seperti dua tambah dua sama dengan empat, tetapi maksudnya adalah kebenaran yang sifatnya memberikan “pencerahan” bagi jiwa; misalnya saja “perbuatan maksiat itu artinya sama dengan menanda tangani kontrak untuk tinggal di neraka. “

Sayidina Ali bin Abi Thalib r.a berkata :


“Janganlah kamu mengenal dan mengikuti
Kebenaran karena tokohnya; tetapi kenalilah ke-
Benaran itu sendiri, niscaya kamu akan
Mengetahui siapa tokohnya!”

Allah menganugerahkan al-hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.
Al- Baqarah (2) : 269


Seperti halnya rezeki, maka hikmah ini pun hanya dapat diberikan Allah kepada orang-orang yang berusaha untuk mendapatkannya; yaitu yang mau menggunakan kemampuan akal dan rasa yang dimilikinya untuk bertafakur. Sayidina Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Tiada ilmu yang lebih baik daripada hasil tafakur.” Dan di dalam Al-Qur’an pun, ditemukan tidak kurang dari 130 kali perintah Allah untuk berfikir (antara lain pada surat Shaad:29, Adz-Dzariyaat 20-21, Yunus:24) ; serta kehinaan akan menimpa orang yang tidak mau bertafakur(Al furqan:44, Al-A’raaf:179, Al-Mulk:10).

Apa yang harus di tafakuri ?

Sesungguhnya buah dari tafakur adalah keyakinan-keyakinan ilahiyyah yang akan memudahkan kita dalam pengendalian diri agar dapat selalu taat pada keinginan Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu banyak obyek yang dapat di tafakuri, antara lain :
Bertafakur mengenai tanda-tanda yang menunjukan kekuasaan Allah; akan lahir darinya rasa tawadhu (rendah hati) dan rasa taqzim akan keagungan Allah.
Bertafakur mengenai kenikmatan – kenikmatan yang telah Allah berikan; akan lahir darinya rasa cinta dan syukur kepada Allah.
Bertafakur tentang janji Allah; akan lahir darinya rasa cinta kepada Akhirat.
Bertafakur tentang ancaman Allah; akan lahir darinya rasa takut kepada Allah.
Bertafakur tentang sejauh mana ketaatan kita kepada Allah sementara ia selalu mencurahkan karunianya kepada kita; akan lahir darinya kegairahan dalam beribadah.

Contoh Tafakur :

Bila direnungkan, sedetik dari hidup ini pun sudah mukzizat. Bagaimana kita bisa bernafas, punya jantung yang berdetak, mata berkedip, telinga yang dapat mendengar, lidah yang dapat merasakan kenikmatan makanan, dan seterusnya. Semuanya sungguh menakjubkan !
Ketika gigi tanggal satu, kita menjadi susah makan. Ya Allah, gigi satu hilang begitu susahnya. Sekian tahun Engkau berikan gigi itu, baru sekarang disadari artinya ketika dia copot. Satu gigi menjadi begitu bernilainya, lalu bagaimana dengan tangan, hidung, mata, telinga dan otak ?
Dengan bertafakur seperti ini, akan timbul rasa malu. Betapa Allah telah memberikan karunia yang sangat banyak, tetapi kita tidak mengabdi kepada-Nya dengan bersungguh-sungguh.
Mengerti atau mengenal “kebenaran” saja tidaklah cukup. Karena Al-Qur’an mengatakan, bahwa orang yang terhindar dari “kerugian” adalah mereka yang memenuhi 4 kriteria; pertama, yang mengenal kebenaran; kedua, yang mengamalkan kebenaran; ketiga, yang saling nasihat menasihati mengenai kebenaran; dan keempat, yang sabar dan tabah dalam mengamalkan serta mengajarkan kebenaran.

Al-Qur’an tanpa akal lumpuh, Akal tanpa bimbingan Al-Qur’an tertipu !
Akal tanpa Qolbu, menjadikan manusia seperti robot;
Pikir tanpa Zikir, menjadikan manusia seperti setan

Bertafakurlah dengan Pikir dan Zikir sehingga akan menimbulkan keyakinan/hikmah yang akan mengakibatkan kita menjadi orang yang TAAT, dan dengan TAAT hidup Bahagia , Akherat Surga.

Contoh tafakur mengenai MUSIBAH :

Bila kita pikir dengan akal :

Musibah tidak diragukan lagi adalah sesuatu yang buruk
Tidak ada seorangpun yang mau menerima musibah
Musibah identik dengan apes atau sial
Musibah merupakan hasil perbuatan jahat orang lain pada diri kita
Musibah terjadi semata-mata karena kecerobohan kita saja.

Dari proses pikir yang demikian, akan menghasilkan output antara lain:

Wajar orang mengalami Stress ketika tertimpa musibah
Orang yang ditimpa musibah adalah orang yang malang, yaitu orang yang sedang apes atau sial.
Berbuatlah dengan perhitungan yang matang supaya tidak tertimpa musibah.

Hasil ini akan berbeda bila disertai dengan zikir (menghadirkan ‘nuansa ilahiyyah’ dalam kalbu kita):
Allah Selamanya Maha Pengasih dan Maha Penyayang
Allah tidak Zalim, Ia Maha Adil
Allah Maha Pandai, Maha Pengatur lagi Maha Suci
Allah mendengar doa manusia

Interaksi ( perpaduan ) antara pikir dan Zikir akan menghasilkan keyakinan-keyakinan sebagai berikut :

Tidak wajar bila kita Stress pada waktu mengalami musibah, bukankah hal ini merupakan realisasi dari permintaan kita “ihdinashshiraathal mustaqiim” ?
Bila Allah memberikan musibah, sebenarnya yang ingin Dia sampaikan oada kita adalah hikmah = “banyak kenikmatan yang dilipat diantara taring-taring bencana.”Musibah adalah tanda cinta Allah pada kita, yaitu Dia memberikan peluang bagi kita untuk meningkatkan ketaqwaan, bukankah manusia yang paling hebat itu adalah yang paling taqwa ?

Bismillahirrohmanirrohiim

Fali yang Abi sayangi,

Abimu ini bukanlah seorang ulama atau ahli bahasa arab, dan Abi tidak pula menguasai 14 ilmu. Abi hanyalah orang biasa, yang kebetulan saja ketika menyelami samudera Ilahiyyah, menemukan banyak mutiara. Nah, mutiara-mutiara inilah yang ingin Abi bagi-bagikan kepada Fauzan ali khususnya, yaitu sebagai bekal dalam pengembaraan fali di alam dunia ini.

Rasulullah saw, manusia paling bijak dan paling mulia yang menjadi panutan kita, dalam suatu hadits yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari pernah bersabda :

Aku telah datang ke surga, maka terlihat olehku kebanyakan mereka adalah para fakir miskin; dan tatkala aku menjenguk ke neraka, terlihat olehku kebanyakan mereka adalah perempuan.

Insya Allah, Blog ini dapat bermanfaat sebagai tuntunan untuk memudahkan Fali dalam memahami dan mengamalkan Al-Qur’an dan Al-Hadits, sehingga di alam pengembaraan ini fali dapat hidup bahagia, dan di akhir perjalanan nanti terhindar dari kategori perempuan sebagaimana yang dimaksud oleh Rasulullah saw di atas.

“Semua anak Adam juru salah……
dan sebaik-baiknya orang-orang salah itu, yang cepat bertaubat.”


Akhirnya Abi berdoa kepada Allah swt, semoga usaha Abi ini tidaklah sia-sia belaka. Amiin

Jakarta 22 Mei 2008

Langganan: Postingan (Atom)